Jumat, 04 Desember 2015

Pengertian Filsafat

Pengertian Filsafat

Oleh : Pudjo Sumedi AS., Drs.,M.Ed.* dan Mustakim, S.Pd.,MM**
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani: ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni“ ( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
  1. Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya metafisika )
  2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika )
  3. Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya Agama )
  4. Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Pudjo Sumedi AS., Drs.,M.Ed.*
Wakil Rektor I UHAMKA Jakarta / Mahasiswa Program Doktoral (S3) Administrasi Pendidikan –UPI Bandung .
Mustakim, S.Pd.,MM**
Guru SMP Negeri 2 Parungpanjang Kabupaten Bogor. / Mahasiswa Program Doktoral (S3) Administrasi Pendidikan –UPI Bandung .
Referensi :
Betrand Russel.2002. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (alih Bahasa Sigit jatmiko, dkk ) . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ismaun.2007. Filsafat Administrasi Pendidikan(Serahan Perkuliahan ). Bandung : UPI
Ismaun.2007. Kapita Selekta Filsafat Administrasi Pendidikan (Serahan Perkuliahan). Bandung : UPI
Koento Wibisono.1997. Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta : Universitas Terbuka
Moersaleh. 1987. Filsafat Administrasi. Jakarta : Univesitas Terbuka

Ontologi, Eoistimologi, Dan Aksiologi dalam Filsafat Pendidikan

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN


Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu, Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketigadi sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional.
1.    ONTOLOGI
Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah secara :
1.    Metodis             : Menggunakan cara ilmiah.
2.    Sistematis          : Saling berkaitan satu sama lain secara teratur  dalam satu keseluruhan.
3.    Koheren            : Unsur – unsur harus bertautan tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan.
4.    Rasional          : Harus berdasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis)
5.    Komprehensif  :  Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan.
6.    Radikal           :  Diuraikan sampai akar persoalan, atau esensinya.
7.    Universal          :  Muatan kebenaranya sampai tingkat umum  yang berlaku dimana saja.
Hubungan antara ontologi dengan pendidikan
Ontologi merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan.Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan ialah sisi yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah teletak undang-undang dasarnya dunia ilmu.
2.    EPISTEMOLOGI
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan atau kebenaran dan logos berarti pikiran, kata atau teori. Dengan demikian epistimologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenahi pengetahuan. Epistimologi dapat juga diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar (teori of knowledges). Epistimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan.
Istilah epistimologi dipakai pertama kali oleh J. F. Feriere untuk membedakannya dengan cabang filsafat lain yaitu ontologi (metafisika umum). Filsafat pengetahuan (Epistimologi) merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Epistomogi merupakan bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan asal mula pengetahuan, batas – batas, sifat sifat dan kesahihan pengetahuan. Objeck material epistimologi adalah pengetahuan . Objek formal epistemologi adalah hakekat pengetahuan.
Aspek estimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut. Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis mayor, dan premis minor.
Dalam epistimologi dikenal dengan 2 aliran, yaitu:
1.    Rasionalisme   :  Pentingnya akal yang menentukan hasil/keputusan.
2.    Empirisme       : Realita kebenaran terletak pada benda kongrit yang dapat diindra karena ilmu atau pengalam impiris.
Hubungan antara epistemologi dengan pendidikan
Hubungan epistemologi dengan pendidikan adalah untuk mengembangkan ilmu secara produktif dan bertanggung jawab serta memberikan suatu gambaran-gambaran umum mengenai kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan.
3.    AKSIOLOGI
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti nilai. Sedangkan logos berarti teori/ ilmu. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilali merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga yang diidamkan oleh setiap insan.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana. Dalam aksiologi ada dua penilaian yang umum digunakan yaitu:
1.    Etika
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilkau, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah satu cabang filsafat tertua. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
2.    Estetika
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Hubungan antara aksiologi dengan pendidikan
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu pengetahuan,menyelidiki hakikat nilai,serta berisi mengenai etika dan estetika.Penerapan aksiologi dalam pendidikan misalnya saja adalah dengan adanya mata pelajaran ilmu sosial dan kewarganegaraan yang mengajarkan bagaimanakah etika atau sikap yang baik itu,selain itu adalah mata pelajaran kesenian yang mengajarkan mengenai estetika atau keindahan dari sebuah karya manusia.  Dasar Aksiologis Pendidikan adalah Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.

Selasa, 01 Desember 2015

makalah filsafat neo-kantialisme



MAKALAH
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
“Neo kantialisme”
Dosen :
DR. Adang Hermawan M.Pd

Di susun oleh :
Diana (2227140843)
Kelas 3C (PGSD)



UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA (UNTIRTA)
KATA PENGANTAR
          Puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada kami sehingga dapat menyusun makalah yang berjudul NEO KANTIALISME. Semoga  makalah ini memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Secara khusu kami ucapkan terimakasih kepada bapak DR. Adang Hermawan M,Pd selaku dosen mata kuliah filsafat imu pendidikan.
            Kami menyadari dengan sepenuh hati bahwasannya makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini serta dapat membantu dalam penyusunan tugas-tugas atau makalah-makalah berikutnya.
            Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, saran dan kritik yang membangun akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas makalah yang kami buat ini.





Serang, 17 november 2015



Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan sebuah system yang kompherensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan hidup karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan anatara sesama.
Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada atau yang telah ada bisa diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa bertanggung jawabkan keabsahannya.
Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang.dan akhirnya bisa melahirkan aliran neo kantialisme yang akan dipaparkan makalah ini.
            perlu kita ketahui sekilas bahwa ilmu neo kantialisme dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu empiris. Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret, praktis, dan aktual.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Neo Kantialisme
Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret, praktis, dan aktual. Inilah yang kemudian hendak diusahakan oleh para filsuf Neo-Kantianisme.
Akan tetapi, aliran ini tidak hendak menekankan peranan akal budi teoritis dan sintesenya dalam pemikiran religius, melainkan mencari interpretasi baru terhadap agama dalam hubungan dengan akal budi praktis, hidup moral dan kebangkitan zaman empiris.
Ada beberapa aliran atau usaha yang mencari interpretasi baru atas agama berdasar pada pemikiran Kant, yakni pertama, Aliran atau Sekolah Marburg yang menekankan tema logika, epistemologi dan metodologi. Kedua, Sekolah Baratdaya Jerman yang memfokuskan diri pada persoalan mengenai nilai. Ketiga, Hans Vaihinger yang mempersoalkan fiksi dan hipotesa dalam rumusan-rumusan agama.
            Menurut Cohen, Allah itu unik, I am who I am. Keunikan ini berarti bahwa adanya Allah tidak dapat dibandingkan dengan adanya dunia. Karena itu, Allah tidak mewahyukan diriNya dalam sesuatu melainkan melalui hubungannya dengan sesuatu terutama hubunganNya dengan manusia. Apa yang diwahyukan? Yang diwahyukan Allah adalah akibat dari adaNya, kehendak, norma tindakan, cinta dan keadilan. Revelasi inilah yang menciptakan akal budi. Tapi, terciptanya akal budi hanya dapat terjadi dalam komunitas. Mengapa? Menurut Cohen, setiap individu selalu terikat dalam komunitas atau bangsa. Dengan menyadari bahwa setiap pribadi hendak mewujudkan kebaikan dalam perjumpaan dengan sesamanya, gagasan Allah karena itu dapat ditemukan dalam poin ini. Tapi, gagasan Allah di sini tetaplah sebuah ide yang menjadi penjamin ideal kemanusiaan dan pemberi arah. Pemikiran ini kemudian ditegaskan oleh Paul Natorp dengan mengatakan agama haruslah menjadi agama yang tanpa Allah. Gagasan dasar Natorp adalah bahwa ia meradikalkan pemikiran mengenai revelasi Allah, yakni Allah tidak mewahyukan Diri dalam sesuatu, tapi melalui hubunganNya dengan sesuatu. Karena itu, ia lantas menyatakan perasaan moral-religius adalah pusat kesadaran manusia. Perasaan inilah yang menjiwai dan menyemangati pencarian pengetahuan.

            Berbeda dengan kedua pemikir di atas, Cassirer menyatakan agama merupakan bagian dari simbol universalitas. Titik tolaknya adalah bahwa agama pada dasarnya tidak pernah terlepas dari kebudayaan. Karena itu, ia berbicara juga mengenai mitos. Mitos bukanlah sesuatu yang lain atau terlepas dari agama. Mitos, bagi Cassirer, adalah agama potensial. Menurutnya, dalam mitos sudah ditemukan gagasan kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini tidak terletak atau terpusat dalam pikiran, melainkan perasaan. Dalam perkembangan agama selanjutnya, gagasan perasaan yang menjadi pusat kesatuan ini ditemukan dalam karakter personal yang ilahi dan aspek moralnya. Atas dasar inilah, ia menyatakan manusia bukan semata animale rationale, tapi juga animale simbolicum. Bagi Cassirer, segala yang ada di dunia ini tidak pernah mampu mencerminkan realitas sepenuh-penuhnya. Walaupun demikian, semuanya memberi sumbangan bagi usaha manusia dalam mengkonstruksi yang ideal atau dunia simbolik yang merupakan kebudayaan manusia.
B.     Usaha teologis ( berteologi) bagi persektif Neo-Kantialisme
Sebelum berteologi dari aliran ini, sebelumnya penulis berusaha melihat kembali pemikiran Kant mengenai Allah. Karena itu, pembahasan ini akan dibagi menjadi 2 bagian, yakni panorama pemikiran Kant mengenai Allah dan berteologi dari sudut pandang ini.
ü  Pemikiran kant mengenai Allah SWT
Pemikiran Kant mengenai agama sesungguhnya berasal dari reaksi terhadap bukti ontologis tentang eksistensi Allah sebagaimana dijelaskan oleh Wolff dan Leibniz. Bagi Wolff dan Leibniz, eksistensi Allah dapat dibuktikan secara teoritis. Artinya, bahwa konsep ‘Allah ada’ sesungguhnya menunjukkan eksistensi atau keberadaan Allah. Pengertian atau konsep ‘ada’ di sini merujuk pada apa yang ada dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, ada dilihat sebagai predikat sebagaimana terdapat dalam objek-objek yang mendiami ruang dan waktu. Implikasinya, konsep bahwa ‘Allah ada’ menjadi konsep konstitutif bagi segala sesuatu yang lainnya. Konstitutif berarti Allah menjadi alasan atau penjelasan terakhir bagi apa yang terjadi dalam dunia dan bahkan menjadi dasar kausalitas terakhir bagi adanya dunia beserta isinya.
Kant menolak pemikiran demikian. Bagi Kant, eksistensi Allah tidak bisa ditarik dari konsep bahwa Allah ada. Konsep ini keliru. Mengapa? Karena ‘ada’ (eksistensi) itu bukanlah predikat sebagaimana dalam pengertian keluasan yang diperuntukkan bagi benda-benda objektif dalam ruang dan waktu. Untuk mengatakan sesuatu itu ada, tidaklah berarti mempredikasikan suatu hal di mana ketika hal tersebut (dalam hal ini pengertian ‘ada’) tidak ada, konsepnya pun menjadi tidak bermakna. Allah itu ada, tapi bahwa adaNya tidak dapat dibuktikan tidak dapat menjadi dasar pernyataan bahwa Allah lenyap, tidak ada, atau tidak bisa dipikirkan. Karena itu, Kant berusaha mencari jalan lain selain jalan bukti teoritis ini dengan mendisiplinkan kemampuan akal budi. Kemampuan budi manusia itu terbatas, maka tidak mungkin budi manusia melampaui apa yang bisa dijangkaunya. Pendisiplinan inilah yang disebut oleh Kant dengan kritik terhadap akal budi
Kantianisme adalah pahaman di mana setiap kita mengambil keputusan, kita harus membayangkan bagaimana kita adalah pihak yang dirugikan. Pahaman ini menjelaskan bahawa bila dilakukan sesuatu tindakan, maka tindakan itu dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
Etika Kant memberi tumpuan hanya kepada pepatah yang mendasari tindakan sebagai baik atau buruk. Kant menunjukkan bahawa banyak pandangan akal kita kepada apa yang baik atau buruk mematuhi sistem itu tetapi menafikan bahawa mana-mana tindakan yang dilakukan atas sebab-sebab selain daripada tindakan yang rasional boleh baik. Kant juga menafikan bahawa akibat sesuatu perbuatan dalam mana-mana cara akan menyumbang kepada bernilai moral perbuatan itu, hujah beliau menjadi bahawa dunia fizikal adalah di luar kawalan dan dengan itu kita tidak boleh bertanggungjawab untuk peristiwa-peristiwa yang berlaku di dalamnya.
Perkembangan pemikiran kant mengalami empat jangka masa :
a.       Tempo masa pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz Wolf, yaitu sampai tahun 1760. Periode ini sering disebut sebagai masa rasionalistik.
b.      Tempoh masa kedua berlangsung antara tahun 1760-1770, yang ditandai dengan semangat skeptisme. Periode ini sering disebut periode empiristik.
c.       Tempoh masa ketiga dimulai dari inaugural dissertation-nya pada tahun 1770.periode ini bisa di kenal sebagai tahap kritik.
d.      Tempoh masa keempat berlangsung antar tahun 1970 sampai tahun 1804. Pada periode ini kant mengalihkan perhatiannya pada masalah agama dan problem-problem social.
Akar akar pemikiran Immanuel kant
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, iaitu suatu masa di mana corak pemikiran yang menekankan unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir pelbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutamanya paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia menginterpretasikan pandangan dunia, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga dunia keagamaan
.
            Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenali dengan deisme, iaitu suatu pahaman yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu terjadi adalah sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dengan berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Pahaman ini bermaksud menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, iaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal.
            Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi keunikan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeza sama sekali dengan metafisikan pra kant.
            Keupayaan Kant ini dikenali dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.
ü  Berteologi
Setelah melihat pemikiran Kant di atas dan secara tidak langsung bagaimana Kant memahami agama, pembahasan ini berusaha untuk berteologi dari sudut pandang pemikiran Kant tersebut dalam konteks Indonesia dewasa ini.
Sama seperti negara-negara lain, Indonesia pun mengalami tantangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Budaya teknologis seperti layar LCD sudah masuk ke dalam Gereja-gereja di kota besar, seminar atau pun kursus teologis yang bertujuan semakin memahami nilai dan pesan Yesus pun sudah banyak dilakukan, adanya fenomena gerakan karismatis yang ramai diikuti, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengindikasikan pencarian manusia akan Allah. Mengapa Allah dicari? Barangkali mereka merasa bahwa Allah sudah hilang dari hidup mereka sehingga usaha apa pun dilakukan untuk menenangkan kembali perasaan hati yang gelisah. Tapi, apakah Allah benar-benar ada? Kalau ada, bagaimana merasakannya atau memikirkannya? Poin ini hendak menegaskan kembali perlunya fungsi kritik terhadap budi manusia. Namun, di pihak lain, budi manusia menuntut adanya penjelasan terakhir bagi hidupnya. Untuk apa? Supaya tiap perbuatan yang dilakukan dapat menghantar pada apa yang disebut dengan kebahagiaan. Tapi, setelah melihat gagasan Kant mengenai Allah dalam penjelasan di atas, berteologi dari perspektif Kant berarti bersoal jawab dengan perbuatan manusia yang berkaitan dengan keutamaan hidup moral dan secara langsung pula dengan poin kebahagiaan.
Agama Kristiani adalah agama cinta kasih. Dikatakan demikian karena arti menjadi manusia diletakkan pada dasar perbuatan (bdk. Mat 25: 31-46). Mengapa perbuatan? Karena perbuatan menunjukkan apa yang ada dalam diri manusia, yakni keyakinan. Terminologi religius menyebutnya dengan iman kepada Allah. Akan tetapi, keyakinan ini belum cukup memenuhi sebagai syarat keutamaan hidup moral. Mengapa? Lantaran keyakinan itu sendiri dapat disalahgunakan untuk tujuan buruk. Inilah yang kemudian terjadi pada gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama. Keyakinan agama menjadi dasar penilaian realitas padahal di pihak lain agama itu sendiri adalah suatu realitas. Agama seolah-olah mengangkat dirinya menjadi tuhan dan karena itu tidak dapat salah. Inilah kritik paling tajam yang datang dari ilmu empiris dan positivisme. Lantas, apa yang menjadi kriteria perbuatan manusia ketika agama tidak lagi dapat diandalkan? Menurut Kant satu-satunya kriteria adalah kehendak baik. Dengan kata lain, kehendak baik merupakan prinsip tertinggi yang merupakan hukum moral bagi perbuatan manusia.
Dalam dirinya kehendak baik selalu mengarah kepada kebaikan. Tapi, kehendak sebagai kehendak belumlah dapat dinilai. Kehendak ini mesti diwujudkan dalam tataran praktis. Artinya, kehendak baik ini mesti tampil dalam bentuk-bentuk perbuatan. Tempat di mana perbuatan manusia itu tampil adalah dalam komunitas. Mengapa komunitas? Karena setiap pribadi yang berjumpa satu sama lain hendak atau berusaha menyadari dan mewujudkan kebaikan dan ini dapat dicapai dalam relasi yang bebas dengan orang lain. Dalam banyak hal, agama Kristiani dewasa ini memang berusaha untuk belajar dan menghayati bagaimana komunitas pertama di Yerusalem menjalankan dan menghayati pesan-pesan Yesus. Di lain pihak, komunitas pertama tersebut, selain para rasul, tidak mengalami Yesus secara fisik. Tapi, mereka menjalankan pesan-pesan itu secara bebas. Kebebasan di sini lantas menjadi poin penting untuk mengerti halnya relasi dalam hidup berkomunitas.
            Poin kebebasan di atas memaksudkan bahwa perwujudan hukum moral hanya dapat dilaksanakan dalam kebebasan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pesan Yesus adalah pesan moral yang berlandaskan pada ajaran kasih. Dalam arti tertentu, manusia tidak mungkin bisa meletakkan kebebasan dalam ruang kosong. Kebebasan itu tampak dalam pilihan perbuatan manusia. Inilah yang membuat hukum moral bisa berlaku lantaran ada kebebasan. Selain itu, perbuatan hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan sesama. Kehadiran sesama inilah yang kemudian menciptakan akal budi. Akal budi lantas menciptakan hukum yang mengatur dan yang memberi bentuk pada perbuatan manusia dalam relasi dengan sesamanya. Dengan melaksanakan hukum moral dalam batinnya, manusia lantas dapat mencapai kebahagiaan. Tapi, ini tidak berarti bahwa akibat perbuatan itulah yang menghasilkan dan memberi kebahagiaan. Justru sebaliknya, yakni melaksanakan kewajiban dalam batinnya itulah yang menjadikan seorang bahagia. Prinsip demikian mesti terdapat juga dalam diri orang lain. Moralitas di sini karena itu dapat dimengerti sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang dengan norma atau hukum batiniahnya yang dilihat sebagai kewajibannya. Dengan kata lain, hukum batiniahnya adalah kewajiban manusia itu sendiri. Pemahaman ini lantas menghantar pada pemahaman selanjutnya bahwa manusia itu pada dasarnya bukan semata ada yang mengetahui, melainkan juga ada yang menghendaki dan bertindak. Manusia menghendaki karena ia menghendaki yang baik dan itu terwujud dalam dan melalui perbuatan atau tindakannya.
Tapi bagaimana manusia mengenal bahwa hukum batiniahnya itu baik adanya? Dalam pemahaman di atas gagasan Allah perlu dimengerti. Pada poin tersebut, Allah lantas menjadi penjamin bahwa kewajiban manusia itu sungguh-sungguh baik. Hal ini membawa implikasi yakni bahwa agama sesungguhnya merupakan pengakuan kewajiban-kewajiban manusia sebagai perintah ilahi. Dengan kata lain, agama diletakkan di bawah moralitas. Penulis melihat bahwa pengertian relasi moralitas dan agama yang demikian ini terwujud dalam apa yang disebut Komunitas Basis Gerejani. Struktur budi manusia lantas memungkinkan terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai dalam komunitas. Penghayatan pesan moral Kristus yang dilakukan dalam kehidupan komunitas dapat menjadi acuan bahwa manusia selain terdorong oleh kewajibannya membantu sesama juga sekaligus merupakan tujuan bagi dirinya sendiri. Karena itu, dalam komunitas penghargaan akan martabat dan harkat manusia sebagai manusia terlihat dengan jelas. Komunitas menjadi penyalur rahmat dan anugerah Kristus. Relasi demikian menghumanisasikan manusia kembali sebab dasar dan tolak ukur ini bukan tentang ajaran-ajaran Gereja ataupun soal-soal mengenai Allah tetapi pribadi-pribadi manusia yang konkret, yang hidup dalam sejarah dunia ini. Jika setiap manusia dapat melakukannya, kebahagiaan manusia dapat tercapai dalam dunia ini.
Pemikiran mengenai keutamaan hidup moral memang telah dicetuskan oleh Gereja Indonesia dengan menyatakan perlunya habitus baru dalam menyikapi perkembangan dunia ini. Habitus baru itu menandaskan kembali perlunya sikap moral manusia terhadap sesamanya dan dunia. Ketika manusia diperhadapkan dengan tuntutan efektivitas waktu, hasil kerja, prosedur dan lain sebagainya, manusia pasti menghadapi aneka pilihan yang perlu dilakukan. Pilihan inilah yang menjadikan manusia itu dewasa. Dalam konteks agama Kristiani, pilihan ini tampak dalam iman. Namun, iman itu sendiri belum mencukupi sebagai dasar perbuatan moral. Dimensi sosial iman itulah yang kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kemauan membantu sesama melalui komunitas. Penulis menyadari bahwa Komunitas Basis Kristiani itu sendiri hanyalah bentuk bagi usaha penghayatan iman. Untuk wujud konkret bagaimana iman itu dihayati dalam kehidupan konkret-aktual, hal tersebut perlu memperhatikan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi oleh kaum beriman.
ü  Catatan kritis

Perbuatan manusia jelas memerlukan pendasaran metafisis supaya manusia mengetahui untuk apa ia berbuat kebaikan. Tapi kehadiran ilmu empiris dan positivisme menjadikan pendasaran metafisis demikian perlu dibuktikan melalui pengalaman. Mengapa perlu dibuktikan? Karena apa yang tidak dapat dibuktikan dalam dan melalui pengalaman, pendasaran tersebut kehilangan legitimasinya sebagai sebuah pendasaran. Pukulan telak jelas jatuh pada agama. Agama lantas mencoba mencari cara baru untuk menjelaskan hal ini. Dalam bidang filsafat, salah satu yang diusahakan adalah dengan merujuk kembali pada pemikiran Kant mengenai akal budi praktis dan hidup moral. Tetapi, usaha para tokoh Neo-Kantianisme tidaklah tanpa celah. Sebagaimana dikatakan Karl Jasper, para pemikir tersebut mengabaikan batas-batas yang ditetapkan oleh Kant terhadap akal budi. Mereka mengubah akal budi menjadi roh dan pikiran menjadi pikirannya Allah. Cohen misalnya berkata bahwa revelasi kehendak Allah itulah yang menjadikan manusia rasional. Dengan kata lain, revelasi menciptakan akal budi. Titik lemah Cohen terletak pada pemahamnnya mengenai revelasi itu sendiri. Cohen melihat revelasi itu seolah-olah realitas itu sendiri. Padahal revelasi hanyalah satu penampakan saja, semacam satu keterangan mengenai realitas yang tersembunyi dari akal budi. Pada Natorp, titik lemahnya terletak pada pemahamannyan mengenai perasaan religius. Ia melihat bahwa perasaan religius tidaklah memiliki tujuan apa pun juga. Perasaan ini mengubah dan menggantikan kategori budi manusia dalam menilai dan memutuskan pilihan tindakan manusia. Implikasinya, tiap fenomena yang masuk ke dalam diri manusia lantas tidak dapat diputuskan dalam suatu pengertian dan karena itu juga dalam relasi kausalitas. Padahal perbuatan manusia itu selalu berkarakter konkrit dan subjektif yang terjadi dalam ruang dan waktu.

            Pada umumnya, titik lemah yang diperlihatkan para filsuf Neo-Kantianisme tidak terlepas dari kelemahan pemikiran Kant sendiri. Pertama, ketika Kant melepaskan dasar ontologis dari penjelasan kausalitas yang terjadi adalah bahwa realitas itu sendiri tidak dapat dikenal. Manusia hanya mengenal apa yang ditampakkan oleh realitas. Karena itu apa yang menjadi pengetahuan manusia sesungguhnya hanya merupakan keterangan-keterangan mengenai realitas itu sendiri. Kedua, mengenai perbuatan moral. Hukum moral Kant tidak memuat isi dari perbuatan, melainkan syarat manusia untuk berbuat. Syarat inilah yang diharapkan Kant menjadi prinsip universal bagi tindakan manusia. Implikasinya adalah Kant menolak apa yang datang dari luar termasuk perasaan dan nilai. Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler, manusia menaati kewajibannya bukan demi kewajiban itu sendiri melainkan ia menyadari sesuatu sebagai kewajibannya karena sesuatu itu mempunyai nilai. Jadi sikap moral berkaitan dengan nilai. Dan terakhir, Kant melepaskan akibat perbuatan dari kodrat perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah tindakan moral, perbuatan dalam diri dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menghasilkan atau memproduksi sesuatu.

            Dari sisi teologis, para teolog seperti Albercht Ritschl, Wilhelm Herrmann, dan Adolf von Harnack menekankan moralitas di atas intelektualisasi yang berlebihan terhadap pribadi Kristus dan agama Kristiani. Moralitas yang dimaksud di sini adalah moralitas yang ditunjukkan oleh pribadi historis Yesus. Implikasinya, mereka membatasi pengetahuan pada wilayah realisme wahyu historis tertentu dan dalam hal ini wahyu itu adalah pribadi Yesus. Memang gambaran Yesus historis dapat ditemukan dalam Injil tapi tidak semuanya digambarkan. Lagi pula, dari penyelidikan kritis-ilmiah terhadap Yesus sebagaimana terdapat dalam Injil, tidak mudah untuk menemukan gambaran Yesus yang sesungguhnya. Banyak hal merupakan tambahan dari para muridNya. Inilah yang menyulitkan penghayatan iman konkret dalam dunia dewasa ini. Ritschl, misalnya, mengatakan kesatuan moralitas dan agama terungkap dalam kehidupan etis Yesus. Hermann bahkan melihat iman sebagai penempatan manusia ke dalam keadaan baru dengan melihat Kitab Suci sebagai semata sarana untuk itu. Ringkasnya, imanlah yang menyelamatkan manusia. Sementara Harnack berpendapat bahwa pribadi Yesus dan pengaruhnya kepada orang lain hingga hari inilah yang harus diperhatikan. Keutamaan hidup moral Kritus menjadi poin penting di mana kemudian Harnack menyimpulkan agama adalah jiwa moralitas dan moralitas menjadi tubuh agama. Dalam agama Kristiani, Injil adalah pesan yang memastikan manusia akan hidup abadi dan yang menyampaikan nilai dari segala sesuatu. Pengetahuan memang penting (pengetahuan mengenai Injil dan hidup Yesus), akan tetapi pengetahuan demikian bukanlah merupakan esensi Injil. Memang tidak selalu mudah untuk menemukan iman dan teologi Perjanjian Baru.
DAFTAR PUSTAKA