MAKALAH
FILSAFAT
ILMU PENDIDIKAN
“Neo
kantialisme”
Dosen
:
DR.
Adang Hermawan M.Pd
Di
susun oleh :
Diana
(2227140843)
Kelas
3C (PGSD)
UNIVERSITAS SULTAN
AGENG TIRTAYASA (UNTIRTA)
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kepada allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada kami sehingga
dapat menyusun makalah yang berjudul NEO KANTIALISME. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kami
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Secara khusu kami ucapkan terimakasih
kepada bapak DR. Adang Hermawan M,Pd selaku dosen mata kuliah filsafat imu
pendidikan.
Kami menyadari dengan sepenuh hati
bahwasannya makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan
yang terdapat dalam makalah ini serta dapat membantu dalam penyusunan
tugas-tugas atau makalah-makalah berikutnya.
Kami ucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, saran dan kritik
yang membangun akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas makalah yang
kami buat ini.
Serang,
17 november 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Ilmu
filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan sebuah
system yang kompherensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan realitas
yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan hidup karena
hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar
dan membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang
akan diambil seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk
mengenai tata cara pergaulan anatara sesama.
Tak
lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari
pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada atau yang telah ada bisa
diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas
individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara
mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa bertanggung
jawabkan keabsahannya.
Dengan
demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara
mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang.dan akhirnya bisa
melahirkan aliran neo kantialisme yang akan dipaparkan makalah ini.
perlu kita
ketahui sekilas bahwa ilmu neo kantialisme dalam filsafat biasa dihubungkan
dengan ilmu empiris.
Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel
Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme
yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang
agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada
dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit
untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu
empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat
dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang
super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam
kehidupan konkret, praktis, dan aktual.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Neo Kantialisme
Neo-Kantianisme
adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini
lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha
menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan
ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis.
Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam
tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme
menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam
pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi
sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret,
praktis, dan aktual. Inilah yang kemudian hendak diusahakan oleh para filsuf
Neo-Kantianisme.
Akan
tetapi, aliran ini tidak hendak menekankan peranan akal budi teoritis dan
sintesenya dalam pemikiran religius, melainkan mencari interpretasi baru
terhadap agama dalam hubungan dengan akal budi praktis, hidup moral dan
kebangkitan zaman empiris.
Ada beberapa aliran atau usaha yang mencari interpretasi baru atas agama
berdasar pada pemikiran Kant, yakni pertama,
Aliran atau Sekolah Marburg yang menekankan tema logika, epistemologi dan
metodologi. Kedua, Sekolah Baratdaya
Jerman yang memfokuskan diri pada persoalan mengenai nilai. Ketiga, Hans Vaihinger yang
mempersoalkan fiksi dan hipotesa dalam rumusan-rumusan agama.
Menurut Cohen, Allah itu
unik, I am who I am. Keunikan ini berarti bahwa adanya Allah tidak dapat
dibandingkan dengan adanya dunia. Karena itu, Allah tidak mewahyukan diriNya
dalam sesuatu melainkan melalui hubungannya dengan sesuatu terutama hubunganNya
dengan manusia. Apa yang diwahyukan? Yang diwahyukan Allah adalah akibat dari
adaNya, kehendak, norma tindakan, cinta dan keadilan. Revelasi inilah yang
menciptakan akal budi. Tapi, terciptanya akal budi hanya dapat terjadi dalam
komunitas. Mengapa? Menurut Cohen, setiap individu selalu terikat dalam
komunitas atau bangsa. Dengan menyadari bahwa setiap pribadi hendak mewujudkan
kebaikan dalam perjumpaan dengan sesamanya, gagasan Allah karena itu dapat
ditemukan dalam poin ini. Tapi, gagasan Allah di sini tetaplah sebuah ide yang
menjadi penjamin ideal kemanusiaan dan pemberi arah. Pemikiran ini kemudian
ditegaskan oleh Paul Natorp dengan mengatakan agama haruslah menjadi agama yang
tanpa Allah. Gagasan dasar Natorp adalah bahwa ia meradikalkan pemikiran mengenai
revelasi Allah, yakni Allah tidak mewahyukan Diri dalam sesuatu, tapi melalui
hubunganNya dengan sesuatu. Karena itu, ia lantas menyatakan perasaan
moral-religius adalah pusat kesadaran manusia. Perasaan inilah yang menjiwai
dan menyemangati pencarian pengetahuan.
Berbeda dengan kedua pemikir
di atas, Cassirer menyatakan agama merupakan bagian dari simbol universalitas.
Titik tolaknya adalah bahwa agama pada dasarnya tidak pernah terlepas dari
kebudayaan. Karena itu, ia berbicara juga mengenai mitos. Mitos bukanlah
sesuatu yang lain atau terlepas dari agama. Mitos, bagi Cassirer, adalah agama
potensial. Menurutnya, dalam mitos sudah ditemukan gagasan kesatuan yang
menyeluruh. Kesatuan ini tidak terletak atau terpusat dalam pikiran, melainkan
perasaan. Dalam perkembangan agama selanjutnya, gagasan perasaan yang menjadi
pusat kesatuan ini ditemukan dalam karakter personal yang ilahi dan aspek
moralnya. Atas dasar inilah, ia menyatakan manusia bukan semata animale
rationale, tapi juga animale simbolicum. Bagi Cassirer, segala yang ada di
dunia ini tidak pernah mampu mencerminkan realitas sepenuh-penuhnya. Walaupun
demikian, semuanya memberi sumbangan bagi usaha manusia dalam mengkonstruksi
yang ideal atau dunia simbolik yang merupakan kebudayaan manusia.
B. Usaha
teologis ( berteologi) bagi persektif Neo-Kantialisme
Sebelum
berteologi dari aliran ini, sebelumnya penulis berusaha melihat kembali
pemikiran Kant mengenai Allah. Karena itu, pembahasan ini akan dibagi menjadi 2
bagian, yakni panorama pemikiran Kant mengenai Allah dan berteologi dari sudut
pandang ini.
ü Pemikiran
kant mengenai Allah SWT
Pemikiran Kant mengenai agama
sesungguhnya berasal dari reaksi terhadap bukti ontologis tentang eksistensi
Allah sebagaimana dijelaskan oleh Wolff dan Leibniz. Bagi Wolff dan Leibniz,
eksistensi Allah dapat dibuktikan secara teoritis. Artinya, bahwa konsep ‘Allah
ada’ sesungguhnya menunjukkan eksistensi atau keberadaan Allah. Pengertian atau
konsep ‘ada’ di sini merujuk pada apa yang ada dalam ruang dan waktu. Dengan
kata lain, ada dilihat sebagai predikat sebagaimana terdapat dalam objek-objek
yang mendiami ruang dan waktu. Implikasinya, konsep bahwa ‘Allah ada’ menjadi
konsep konstitutif bagi segala sesuatu yang lainnya. Konstitutif berarti Allah
menjadi alasan atau penjelasan terakhir bagi apa yang terjadi dalam dunia dan
bahkan menjadi dasar kausalitas terakhir bagi adanya dunia beserta isinya.
Kant menolak pemikiran demikian. Bagi Kant, eksistensi Allah tidak bisa ditarik
dari konsep bahwa Allah ada. Konsep ini keliru. Mengapa? Karena ‘ada’
(eksistensi) itu bukanlah predikat sebagaimana dalam pengertian keluasan yang
diperuntukkan bagi benda-benda objektif dalam ruang dan waktu. Untuk mengatakan
sesuatu itu ada, tidaklah berarti mempredikasikan suatu hal di mana ketika hal
tersebut (dalam hal ini pengertian ‘ada’) tidak ada, konsepnya pun menjadi
tidak bermakna. Allah itu ada, tapi bahwa adaNya tidak dapat dibuktikan tidak
dapat menjadi dasar pernyataan bahwa Allah lenyap, tidak ada, atau tidak bisa
dipikirkan. Karena itu, Kant berusaha mencari jalan lain selain jalan bukti
teoritis ini dengan mendisiplinkan kemampuan akal budi. Kemampuan budi manusia
itu terbatas, maka tidak mungkin budi manusia melampaui apa yang bisa
dijangkaunya. Pendisiplinan inilah yang disebut oleh Kant dengan kritik
terhadap akal budi
Kantianisme
adalah pahaman di mana setiap kita mengambil keputusan, kita harus membayangkan
bagaimana kita adalah pihak yang dirugikan. Pahaman ini menjelaskan bahawa bila
dilakukan sesuatu tindakan, maka tindakan itu dilakukan tanpa memperhatikan
kepentingan orang lain.
Etika Kant
memberi tumpuan hanya kepada pepatah yang mendasari tindakan sebagai baik atau
buruk. Kant menunjukkan bahawa banyak pandangan akal kita kepada apa yang baik
atau buruk mematuhi sistem itu tetapi menafikan bahawa mana-mana tindakan yang
dilakukan atas sebab-sebab selain daripada tindakan yang rasional boleh baik.
Kant juga menafikan bahawa akibat sesuatu perbuatan dalam mana-mana cara akan
menyumbang kepada bernilai moral perbuatan itu, hujah beliau menjadi bahawa
dunia fizikal adalah di luar kawalan dan dengan itu kita tidak boleh
bertanggungjawab untuk peristiwa-peristiwa yang berlaku di dalamnya.
Perkembangan pemikiran kant
mengalami empat jangka masa :
a. Tempo
masa pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz Wolf, yaitu sampai
tahun 1760. Periode ini sering disebut sebagai masa rasionalistik.
b. Tempoh
masa kedua berlangsung antara tahun 1760-1770, yang ditandai dengan semangat
skeptisme. Periode ini sering disebut periode empiristik.
c. Tempoh
masa ketiga dimulai dari inaugural dissertation-nya pada tahun 1770.periode ini
bisa di kenal sebagai tahap kritik.
d. Tempoh
masa keempat berlangsung antar tahun 1970 sampai tahun 1804. Pada periode ini
kant mengalihkan perhatiannya pada masalah agama dan problem-problem social.
Akar akar pemikiran Immanuel kant
Immanuel
Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, iaitu
suatu masa di mana corak pemikiran yang menekankan unsur rasionalitas berkembang
dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir pelbagai temuan dan paradigma baru
dibidang ilmu, dan terutamanya paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan
Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan
paradigma geosentris, mengharuskan manusia menginterpretasikan pandangan dunia,
tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga dunia keagamaan
.
Selanjutnya
ciri kedua adalah apa yang dikenali dengan deisme, iaitu suatu pahaman yang
kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau
agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan
alam semesta ini tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia
kepada nasibnya sendiri sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke
dalamnya. Segala sesuatu terjadi adalah sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia
dapat menunaikan tugasnya dengan berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai
dengan hukum-hukum akalnya. Pahaman ini bermaksud menaklukkan wahyu ilahi
beserta degan kesaksian-kesaksiannya, iaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan
lain-lain kepada kritik akal.
Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam
tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi keunikan
pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar
berbeza sama sekali dengan metafisikan pra kant.
Keupayaan Kant ini dikenali dengan kritisisme atau
filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah
filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan
kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah
kritik atas daya pertimbangan.
ü Berteologi
Setelah melihat pemikiran Kant
di atas dan secara tidak langsung bagaimana Kant memahami agama, pembahasan ini
berusaha untuk berteologi dari sudut pandang pemikiran Kant tersebut dalam
konteks Indonesia dewasa ini.
Sama seperti negara-negara lain, Indonesia pun mengalami tantangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi. Budaya teknologis seperti layar LCD sudah
masuk ke dalam Gereja-gereja di kota besar, seminar atau pun kursus teologis
yang bertujuan semakin memahami nilai dan pesan Yesus pun sudah banyak
dilakukan, adanya fenomena gerakan karismatis yang ramai diikuti, dan lain
sebagainya. Semuanya ini mengindikasikan pencarian manusia akan Allah. Mengapa
Allah dicari? Barangkali mereka merasa bahwa Allah sudah hilang dari hidup
mereka sehingga usaha apa pun dilakukan untuk menenangkan kembali perasaan hati
yang gelisah. Tapi, apakah Allah benar-benar ada? Kalau ada, bagaimana
merasakannya atau memikirkannya? Poin ini hendak menegaskan kembali perlunya
fungsi kritik terhadap budi manusia. Namun, di pihak lain, budi manusia
menuntut adanya penjelasan terakhir bagi hidupnya. Untuk apa? Supaya tiap
perbuatan yang dilakukan dapat menghantar pada apa yang disebut dengan
kebahagiaan. Tapi, setelah melihat gagasan Kant mengenai Allah dalam penjelasan
di atas, berteologi dari perspektif Kant berarti bersoal jawab dengan perbuatan
manusia yang berkaitan dengan keutamaan hidup moral dan secara langsung pula
dengan poin kebahagiaan.
Agama Kristiani adalah agama cinta kasih. Dikatakan demikian karena arti
menjadi manusia diletakkan pada dasar perbuatan (bdk. Mat 25: 31-46). Mengapa perbuatan?
Karena perbuatan menunjukkan apa yang ada dalam diri manusia, yakni keyakinan.
Terminologi religius menyebutnya dengan iman kepada Allah. Akan tetapi,
keyakinan ini belum cukup memenuhi sebagai syarat keutamaan hidup moral.
Mengapa? Lantaran keyakinan itu sendiri dapat disalahgunakan untuk tujuan
buruk. Inilah yang kemudian terjadi pada gerakan-gerakan kekerasan atas nama
agama. Keyakinan agama menjadi dasar penilaian realitas padahal di pihak lain
agama itu sendiri adalah suatu realitas. Agama seolah-olah mengangkat dirinya
menjadi tuhan dan karena itu tidak dapat salah. Inilah kritik paling tajam yang
datang dari ilmu empiris dan positivisme. Lantas, apa yang menjadi kriteria
perbuatan manusia ketika agama tidak lagi dapat diandalkan? Menurut Kant
satu-satunya kriteria adalah kehendak baik. Dengan kata lain, kehendak baik
merupakan prinsip tertinggi yang merupakan hukum moral bagi perbuatan manusia.
Dalam dirinya kehendak baik selalu mengarah kepada kebaikan. Tapi, kehendak
sebagai kehendak belumlah dapat dinilai. Kehendak ini mesti diwujudkan dalam
tataran praktis. Artinya, kehendak baik ini mesti tampil dalam bentuk-bentuk
perbuatan. Tempat di mana perbuatan manusia itu tampil adalah dalam komunitas.
Mengapa komunitas? Karena setiap pribadi yang berjumpa satu sama lain hendak
atau berusaha menyadari dan mewujudkan kebaikan dan ini dapat dicapai dalam
relasi yang bebas dengan orang lain. Dalam banyak hal, agama Kristiani dewasa
ini memang berusaha untuk belajar dan menghayati bagaimana komunitas pertama di
Yerusalem menjalankan dan menghayati pesan-pesan Yesus. Di lain pihak,
komunitas pertama tersebut, selain para rasul, tidak mengalami Yesus secara
fisik. Tapi, mereka menjalankan pesan-pesan itu secara bebas. Kebebasan di sini
lantas menjadi poin penting untuk mengerti halnya relasi dalam hidup
berkomunitas.
Poin
kebebasan di atas memaksudkan bahwa perwujudan hukum moral hanya dapat
dilaksanakan dalam kebebasan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman
bahwa pesan Yesus adalah pesan moral yang berlandaskan pada ajaran kasih. Dalam
arti tertentu, manusia tidak mungkin bisa meletakkan kebebasan dalam ruang
kosong. Kebebasan itu tampak dalam pilihan perbuatan manusia. Inilah yang
membuat hukum moral bisa berlaku lantaran ada kebebasan. Selain itu, perbuatan
hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan sesama. Kehadiran sesama inilah
yang kemudian menciptakan akal budi. Akal budi lantas menciptakan hukum yang
mengatur dan yang memberi bentuk pada perbuatan manusia dalam relasi dengan
sesamanya. Dengan melaksanakan hukum moral dalam batinnya, manusia lantas dapat
mencapai kebahagiaan. Tapi, ini tidak berarti bahwa akibat perbuatan itulah
yang menghasilkan dan memberi kebahagiaan. Justru sebaliknya, yakni
melaksanakan kewajiban dalam batinnya itulah yang menjadikan seorang bahagia.
Prinsip demikian mesti terdapat juga dalam diri orang lain. Moralitas di sini
karena itu dapat dimengerti sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang
dengan norma atau hukum batiniahnya yang dilihat sebagai kewajibannya. Dengan
kata lain, hukum batiniahnya adalah kewajiban manusia itu sendiri. Pemahaman
ini lantas menghantar pada pemahaman selanjutnya bahwa manusia itu pada
dasarnya bukan semata ada yang mengetahui, melainkan juga ada yang menghendaki
dan bertindak. Manusia menghendaki karena ia menghendaki yang baik dan itu
terwujud dalam dan melalui perbuatan atau tindakannya.
Tapi bagaimana manusia mengenal bahwa hukum batiniahnya itu baik adanya? Dalam
pemahaman di atas gagasan Allah perlu dimengerti. Pada poin tersebut, Allah
lantas menjadi penjamin bahwa kewajiban manusia itu sungguh-sungguh baik. Hal
ini membawa implikasi yakni bahwa agama sesungguhnya merupakan pengakuan
kewajiban-kewajiban manusia sebagai perintah ilahi. Dengan kata lain, agama
diletakkan di bawah moralitas. Penulis melihat bahwa pengertian relasi
moralitas dan agama yang demikian ini terwujud dalam apa yang disebut Komunitas
Basis Gerejani. Struktur budi manusia lantas memungkinkan terciptanya kehidupan
yang harmonis dan damai dalam komunitas. Penghayatan pesan moral Kristus yang
dilakukan dalam kehidupan komunitas dapat menjadi acuan bahwa manusia selain
terdorong oleh kewajibannya membantu sesama juga sekaligus merupakan tujuan
bagi dirinya sendiri. Karena itu, dalam komunitas penghargaan akan martabat dan
harkat manusia sebagai manusia terlihat dengan jelas. Komunitas menjadi
penyalur rahmat dan anugerah Kristus. Relasi demikian menghumanisasikan manusia
kembali sebab dasar dan tolak ukur ini bukan tentang ajaran-ajaran Gereja
ataupun soal-soal mengenai Allah tetapi pribadi-pribadi manusia yang konkret,
yang hidup dalam sejarah dunia ini. Jika setiap manusia dapat melakukannya,
kebahagiaan manusia dapat tercapai dalam dunia ini.
Pemikiran mengenai keutamaan hidup moral memang telah dicetuskan oleh Gereja
Indonesia dengan menyatakan perlunya habitus baru dalam menyikapi perkembangan
dunia ini. Habitus baru itu menandaskan kembali perlunya sikap moral manusia
terhadap sesamanya dan dunia. Ketika manusia diperhadapkan dengan tuntutan
efektivitas waktu, hasil kerja, prosedur dan lain sebagainya, manusia pasti
menghadapi aneka pilihan yang perlu dilakukan. Pilihan inilah yang menjadikan
manusia itu dewasa. Dalam konteks agama Kristiani, pilihan ini tampak dalam
iman. Namun, iman itu sendiri belum mencukupi sebagai dasar perbuatan moral.
Dimensi sosial iman itulah yang kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut dalam
kemauan membantu sesama melalui komunitas. Penulis menyadari bahwa Komunitas
Basis Kristiani itu sendiri hanyalah bentuk bagi usaha penghayatan iman. Untuk
wujud konkret bagaimana iman itu dihayati dalam kehidupan konkret-aktual, hal
tersebut perlu memperhatikan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi oleh
kaum beriman.
ü Catatan
kritis
Perbuatan manusia jelas memerlukan pendasaran metafisis supaya manusia
mengetahui untuk apa ia berbuat kebaikan. Tapi kehadiran ilmu empiris dan
positivisme menjadikan pendasaran metafisis demikian perlu dibuktikan melalui
pengalaman. Mengapa perlu dibuktikan? Karena apa yang tidak dapat dibuktikan
dalam dan melalui pengalaman, pendasaran tersebut kehilangan legitimasinya
sebagai sebuah pendasaran. Pukulan telak jelas jatuh pada agama. Agama lantas
mencoba mencari cara baru untuk menjelaskan hal ini. Dalam bidang filsafat,
salah satu yang diusahakan adalah dengan merujuk kembali pada pemikiran Kant
mengenai akal budi praktis dan hidup moral. Tetapi, usaha para tokoh
Neo-Kantianisme tidaklah tanpa celah. Sebagaimana dikatakan Karl Jasper, para
pemikir tersebut mengabaikan batas-batas yang ditetapkan oleh Kant terhadap
akal budi. Mereka mengubah akal budi menjadi roh dan pikiran menjadi pikirannya
Allah. Cohen misalnya berkata bahwa revelasi kehendak Allah itulah yang
menjadikan manusia rasional. Dengan kata lain, revelasi menciptakan akal budi.
Titik lemah Cohen terletak pada pemahamnnya mengenai revelasi itu sendiri.
Cohen melihat revelasi itu seolah-olah realitas itu sendiri. Padahal revelasi
hanyalah satu penampakan saja, semacam satu keterangan mengenai realitas yang
tersembunyi dari akal budi. Pada Natorp, titik lemahnya terletak pada
pemahamannyan mengenai perasaan religius. Ia melihat bahwa perasaan religius
tidaklah memiliki tujuan apa pun juga. Perasaan ini mengubah dan menggantikan
kategori budi manusia dalam menilai dan memutuskan pilihan tindakan manusia.
Implikasinya, tiap fenomena yang masuk ke dalam diri manusia lantas tidak dapat
diputuskan dalam suatu pengertian dan karena itu juga dalam relasi kausalitas.
Padahal perbuatan manusia itu selalu berkarakter konkrit dan subjektif yang
terjadi dalam ruang dan waktu.
Pada
umumnya, titik lemah yang diperlihatkan para filsuf Neo-Kantianisme tidak
terlepas dari kelemahan pemikiran Kant sendiri. Pertama, ketika Kant melepaskan
dasar ontologis dari penjelasan kausalitas yang terjadi adalah bahwa realitas
itu sendiri tidak dapat dikenal. Manusia hanya mengenal apa yang ditampakkan
oleh realitas. Karena itu apa yang menjadi pengetahuan manusia sesungguhnya
hanya merupakan keterangan-keterangan mengenai realitas itu sendiri. Kedua,
mengenai perbuatan moral. Hukum moral Kant tidak memuat isi dari perbuatan,
melainkan syarat manusia untuk berbuat. Syarat inilah yang diharapkan Kant
menjadi prinsip universal bagi tindakan manusia. Implikasinya adalah Kant
menolak apa yang datang dari luar termasuk perasaan dan nilai. Tapi,
sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler, manusia menaati kewajibannya bukan demi
kewajiban itu sendiri melainkan ia menyadari sesuatu sebagai kewajibannya
karena sesuatu itu mempunyai nilai. Jadi sikap moral berkaitan dengan nilai.
Dan terakhir, Kant melepaskan akibat perbuatan dari kodrat perbuatan itu
sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah tindakan moral, perbuatan dalam diri
dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menghasilkan atau memproduksi sesuatu.
Dari
sisi teologis, para teolog seperti Albercht Ritschl, Wilhelm Herrmann, dan
Adolf von Harnack menekankan moralitas di atas intelektualisasi yang berlebihan
terhadap pribadi Kristus dan agama Kristiani. Moralitas yang dimaksud di sini
adalah moralitas yang ditunjukkan oleh pribadi historis Yesus. Implikasinya,
mereka membatasi pengetahuan pada wilayah realisme wahyu historis tertentu dan
dalam hal ini wahyu itu adalah pribadi Yesus. Memang gambaran Yesus historis
dapat ditemukan dalam Injil tapi tidak semuanya digambarkan. Lagi pula, dari
penyelidikan kritis-ilmiah terhadap Yesus sebagaimana terdapat dalam Injil,
tidak mudah untuk menemukan gambaran Yesus yang sesungguhnya. Banyak hal
merupakan tambahan dari para muridNya. Inilah yang menyulitkan penghayatan iman
konkret dalam dunia dewasa ini. Ritschl, misalnya, mengatakan kesatuan
moralitas dan agama terungkap dalam kehidupan etis Yesus. Hermann bahkan
melihat iman sebagai penempatan manusia ke dalam keadaan baru dengan melihat
Kitab Suci sebagai semata sarana untuk itu. Ringkasnya, imanlah yang
menyelamatkan manusia. Sementara Harnack berpendapat bahwa pribadi Yesus dan
pengaruhnya kepada orang lain hingga hari inilah yang harus diperhatikan.
Keutamaan hidup moral Kritus menjadi poin penting di mana kemudian Harnack
menyimpulkan agama adalah jiwa moralitas dan moralitas menjadi tubuh agama.
Dalam agama Kristiani, Injil adalah pesan yang memastikan manusia akan hidup
abadi dan yang menyampaikan nilai dari segala sesuatu. Pengetahuan memang
penting (pengetahuan mengenai Injil dan hidup Yesus), akan tetapi pengetahuan
demikian bukanlah merupakan esensi Injil. Memang tidak selalu mudah untuk
menemukan iman dan teologi Perjanjian Baru.
DAFTAR PUSTAKA